Rabu, 18 Mei 2011

Contoh Kasus Hak Perlindungan Konsumen

KASUS-KASUS HAK PERLINDUNGAN KONSUMEN

Kasus Perbankan Paling Banyak Diterima BPKN

Kasus layanan atau produk perbankan paling banyak dilaporkan ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan selama tahun 2010 sebanyak 197 kasus atau 63 persen dari seluruh laporan masuk.

"Sedangkan kasus terbesar lainnya menyangkut perusahaan pembiayaan seperti kredit kenderaan yang jumlahnya mencapai 24 persen lebih," kata Koordinator Komunikasi dan Edukasi BPKN, Srie Agustina, di Medan, Kamis.

BPKN terus berupaya mencerdaskan konsumen/masyarakat agar kasuss-kasus yang merugikan masyarakat itu semakin bisa ditekan.

Dikatakan, masih banyaknya kasus yang merugikan konsumen mulai dari penjualan berbagai barang hingga layanan dari jasa yang dilakukan berbagai perusahaan usai acara Safari Edukasi Konsumen Indonesia yang digelar BPKN dengan peserta dari komunitas ibu dharma wanita, pengusaha UKM dan berbagai kalangan lainnya.

Medan menjadi kota pertama dijadikannya Safari Edukasi Konsumen Indonesia dan akan dilanjutkan ke kota lain seperti Menado.

Dia menjelaskan, 197 kasus yang diterima BPKN itu merupakan laporan lintas sektoral baik dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau lembaga perlindungan konsumen lainnya yang dewasa ini jumlahnya semakin banyak masing-masing 54 dan 228 kantor.

"BPKN tidak menerima pengaduan dari perorangan/pribadi karena bisa ditangani lembaga yang ada di daerah," katanya.

Pembentukan BPKN itu sendiri ,kata dia, menunjukkan keseriusan pemerintah dalam melindungi konsumen, meningkatkan persaingan sehat serta meningkatkan kualitas produk atau layanan perusahaan yang dijalankan atau diperdagangkan di dalam negeri.

Tetapi, kata dia, pemerintah menyadari keterbatasan untuk mengawasi dan mengatasi berbagai masalah dalam soal perdagangan dan layanan dari perusahaan kepada konsumen, sehingga merangkul masyarakat untuk menjadi mitra.

"Karena itu BPKN terus berupaya mencerdaskan konsumen sehingga bisa menjadi "polisi" bagi diri sendiri, untuk kepentingan pemerintah dan termasuk melindungi perusahan dan produk yang dihasilkan lokal," katanya.

Disebutkan, besarnya penduduk Indonesia menjadikan pasar nasional selalu menjadi incaran untuk tempat penjualan berbagai produk dan jasa layanan yang dihasilkan perusahaan nasional dan asing, sehingga kalau konsumen tidak dicerdaskan, pemerintah diyakini tetap kewalahan menangani kasus-kasus yang merugikan.

"Kalau pemerintah masih dinyatakan lamban dalam melindungi konsumen , saya fikir itu kurang tepat, karena negara asing seperti Australia juga nyatanya membutuhkan waktu sekitar 30 tahun dan Indonesia masih dalam hitungan belasan tahun dalam upaya itu," katanya.

Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, Tutum Rahanta, mengatakan, masih banyaknya produk tidak standar yang beredar di dalam negeri meski pemerintah sudah melakukan berbagai cara untuk menekan kasus itu, merupakan salah satu dari resiko luasnya negara Indonesia dengan banyaknya jugadaerah atau pelabuhan yang berbatasan dengan negara asing.

Pengetatan pengawasan di pelabuhan besar seperti Belawan, Sumut, tidak membuat pelaku "nakal" kehilangan akal untuk memasukkan produk tidak standar itu dari pelabuhan lain yang kurang diawasi atau luput dari perhatian.

Barang tidak memenuhi standar itu semakin memungkinkan terus ada, karena juga dipengaruhi adanya persaingan ketat bahkan tidak sehat di antara pengusaha khususnya yang memproduksi atau memasarkan produk asing dan lokal ditengah semakin besarnya tuntutan konsumen atas produk berharga murah.

"Kondisi ini yang harus dicermati pemerintah," kata Tutum yang juga duduk sebagai anggota BPKN.

Dia mengaku sependapat dengan Srie Agustina, bahwa kasuss-kasus yang merugikan konsumen, pengusaha lokal dan pemerintah itu bisa sangat terbantu dengan semakin cerdasnya masyarakat atau konsumen dalam menentukan pilihan produk yang dibelinya.



Tujuh Pengembang di Padang Rugikan Konsumen
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Padang, Sumatera Barat, menerima laporan tentang tujuh perusahaan pengembang yang merugikan konsumen selama 2011.
"Selama 2011 kami sudah banyak pengaduan tentang pengembang dari konsumen perumahan, mulai dari masalah sertifikat ganda, pengingkaran janji, hingga tidak siapnya bangunan yang telah dibayar oleh konsumen," kata Kepala Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Padang Alibasar di Padang, Rabu.
Ia menambahkan, dari tujuh kasus tersebut, semuanya belum selesai karena BPSK memberikan jangka waktu penyelesaian secara damai antara dua hingga tiga bulan. Kasus sengketa antara pengembang dan konsumen perumahan sebenarnya hal baru bagi BPSK Padang karena selama ini yang paling banyak terjadi adalah sengketa terkait perusahaan "leasing".
Dalam kasus sengketa perumahan ini, setidaknya kerugian yang dialami konsumen perumahan mencapai miliaran rupiah.
Untuk penindakannya, menurut dia, BPSK belum memiliki undang-undang yang dapat menjerat pengembang nakal tersebut, seperti halnya dengan pelanggaran UU leasing yang telah ada.
"Dalam menindak pelaku pengembang kami hanya bergantung pada pasal 62 (1) UU nomor 8 tahun 2009 tentang Perlindungan Konsumen, dengan denda Rp2 miliar bagi pengembang pelanggar peraturan," tegas Alibasar.
Ia menambahkan, berbeda dengan leasing yang telah memiliki UU khusus yang dapat langsung menjerat setiap pelanggaran yang dilakukan perusahaan berdasarkan hukum pidana, maupun perdata.
Ketujuh perusahaan pengembang yang dilaporkan masyarakat tersebut saat ini dalam pengawasan BPSK, di mana jika tidak memenuhi perjanjian untuk memenuhi hak konsumen perumahan, tindakan tegas dapat dilakukan, atau dimasukkan ke jalur hukum. Banyaknya developer yang melakukan pelanggaran hak konsumen tersebut, menurut BPSK dikarenakan kurangnya pengawasan oleh Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan (TRTB) terhadap perizianan pendirian bangunan termasuk oleh pengembang.


Perlindungan Konsumen, Kasus Munir Membayangi Garuda

GARUDA sepertinya belum bisa lepas dari bayangan tragedi terbunuhnya aktivis hak asasi manusia, Munir, di dalam salah satu pesawatnya. Rabu dua pekan lalu, flag carrier itu dituntut membayar ganti rugi Rp 13,029 miliar oleh Suciwati, istri almarhum Munir. Selain dianggap tidak memberikan perlindungan terhadap hak-hak konsumen, perusahaan penerbangan itu juga dinilai tak memenuhi tanggung jawabnya dalam menjamin keselamatan penumpang.
Seperti diketahui, Munir meninggal dalam perjalanannya menuju Belanda. Ceritanya, dua tahun silam, mantan pendiri dan Ketua LSM Kontras itu hendak melanjutkan pendidikan. Namun, saat di atas Rumania atau dua jam sebelum mendarat di Bandara Schippol, Amsterdam, laki-laki yang juga aktif di lembaga Imparsial itu telah wafat.
Meninggalnya aktivis hak asasi manusia itu lantas memicu kontroversi. Berdasarkan hasil otopsi yang dilakukan oleh tim dokter dari Belanda, kematian itu disebabkan oleh racun arsen. Kandungan zat beracun di dalam cairan lambung sebanyak 83,9 miligram per liter, sedangkan dalam darah dan urinenya masing-masing 3,1 dan 4,8 miligram per liter.
Benar, bahwa pengadilan telah menjatuhkan vonis 14 tahun penjara buat Pollycarpus Budihari Priyanto. Pilot senior Garuda itu dinyatakan terbukti secara meyakinkan turut serta melakukan pembunuhan secara berencana. Namun, hukuman itu lebih rendah dari tuntutan penjara seumur hidup yang diajukan oleh jaksa. Apalagi, hingga kini dalang di balik tragedi itu tak kunjung terungkap.
Hal-hal itulah yang—antara lain—memantik Suciwati melayangkan gugatan terhadap PT Garuda Indonesia Tbk. Kasus ini, kata Choirul Anam, kuasa hukum Suciwati, menunjukkan banyak awak maskapai penerbangan itu yang tidak profesional dan melanggar ketentuan keamanan penerbangan. Salah satu contoh adalah seharusnya tidak boleh terjadi pemindahan tempat duduk dengan alasan apa pun. Tapi kenyataannya tempat duduk Munir dipindah sehingga tidak sesuai dengan boarding pass. ”Ketika itu kru penerbangan tidak mengetahui ketentuan sehingga membawa implikasi terhadap Munir,” ujar Choirul yang juga Ketua Komite Solidaritas Untuk Munir alias Kasum.
Atas kesalahan itu, Garuda pun dianggap telah menabrak Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) dan Peraturan Pemerintah tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan (PP No. 3 Tahun 2001). Perusahaan penerbangan itu telah melakukan perbuatan melawan hukum dan mesti membayar ganti rugi Rp 13,029 miliar kepada penggugat. Kerugian itu timbul dari penghasilan yang mestinya didapat Munir, uang pendidikan, terapi, dan obat untuk dua anaknya, serta ongkos yang telah dikeluarkan untuk mengikuti pendidikan di Belanda. ”Saya berharap ada keadilan yang selama ini saya cari,” cetus Suciwati. ”Dan ke depan semoga konsumen dapat memperoleh perlindungan dari pemilik jasa,” imbuhnya.
Sayangnya, hingga tulisan ini diturunkan, pihak Garuda mengaku belum menerima surat resmi dari pengadilan. Akibatnya, Pudjobroto, Kepala Divisi Komunikasi PT Garuda Indonesia Tbk., belum mau menanggapi upaya hukum dari Suciwati itu dengan alasan harus mempelajari dan mengkaji isi gugatan tersebut, ”Kami belum bisa memberikan komentar terlalu banyak dan langkah hukum yang akan diambil,” cetusnya. o

Tidak ada komentar:

Posting Komentar